Senin, 29 Desember 2014

CHRYSOCOLLA



CHRYSOCOLLA



Variasi Warna: Hijau, Biru, Hijau Kebiruan, Biru Kehitaman ataupun Coklat
Kadar Transparansi: Translucent – Opaque (Opak)
Luster: Vitreous, Porcelaneous, Waxy, Dull, Earthy
Index Bias: 1.460 – 1.570
Kadar Kekerasan: 2.5 – 3.5 Skala Mohs.
Berat Jenis: 1.93 – 2.40 gr/cm3
Formula Kimia: (Cu,Al)2H2Si2O5(OH)4+nH2O (Hydrated Coopper Sillicate)
Sistem Kristal: Orthorhombic
Tahun Ditemukan: 315 Sebelum Masehi
Wilayah Penghasil: Australia, Chili, Indonesia, USA, Israel, Kongo, dll


Chrysocolla berasal dari Bahasa Yunani, terdiri dari dua suku kata, yaitu; Chryso (Emas) dan Colla (Lem). Dinamakan Chrysocolla karena dulunya mineral ini banyak digunakan oleh tukang emas untuk bahan solder/patri. Di Romawi perekat yang terbuat dari chrysocolla disebut santerna, yang digunakan untuk mengelas/menyambung/menempelkan keping-keping emas. Istilah penyebutan Chrysocolla pertama digunakan oleh seorang filsuf sekaligus ahli botani Yunani yang bernama Theophratus pada tahun 315 SM.

Di zaman Mesir kuno, Chrysocolla disebut sebagai ‘wise stone’ atau ‘batu bijak’ dan disebutkan sering dipakai Cleopatra sebagai perhiasan. Meskipun Chrysocolla memiliki tingkat kekerasan yang rendah, namun Chrysocolla adalah salah satu jenis mineral yang terkenal dalam dunia batu permata.

Chrysocolla sering ditemukan bercampur dengan Quartz atau ‘menyatu’ dengan Chalcedony. Maka dari itu sering kita dengar istilah Chrysocolla Chalcedony, Chrysocolla Agatized ataupun Quartz Chrysocolla. Chrysocolla yang murni sangat lembut dan rapuh dengan kadar kekerasan sekitar 2.5 – 3.5 skala Mohs dan tidak cocok untuk permata faceted atau cabochons. Namun Chrysocolla yang menyatu dengan chalcedony memiliki kekerasan yang tinggi yaitu sekitar 7 skala Mohs dan sering disebut “Gem Silica” atau “Chrysocolla Chalcedony” dalam dunia perdagangan batu internasional. Chrysocolla Chalcedony tahan lama dan dapat digosok atau di facet untuk digunakan sebagai batu permata. Chrysocolla terkadang juga ditemukan “menyatu” dengan Azurite dan Malachite.

Chrysocolla dapat ditemukan di berbagai tempat di dunia, mulai dari Kongo, Israel, USA, Chili dan di Negara kita, Indonesia juga ditemukan Chrysocolla dengan kualitas yang baik. Penghasil Chrysocolla yang umumnya adalah Chrysocolla Chalcedony di Indonesia yaitu Pulau Kasiruta, Pulau Bacan dan Halmahera Selatan. Namun yang sangat terkenal adalah Chrysocolla Chalcedony dari Pulau Bacan sehingga dikenal dengan nama Batu Bacan.

Di pulau Kasiruta, Chrysocolla ditambang di Kecamatan Bacan Barat tepatnya di Desa Doko dan Desa Palamea. Jarak desa satu dengan yang lainnya hanya 3 hingga 5 km. Chrysocolla Chalcedony yang dihasilkan Desa Palamea sering disebut dengan Bacan Palamea yang biasanya berwarna Hijau Segar, muda dan cerah dengan kualitas Kristal cukup baik. Dan Chrysocolla Chalcedony dari desa Doko sering disebut Bacan Doko, yang biasanya hijau tua, hitam, hijau cincau, biru, biru kehijauan dan coklat. Bacan Doko biasanya mempunyai kadar transparansi yang rendah atau jarang ditemukan Kristal seperti Bacan Palamea. Namun Bacan Doko yang Kristal juga terkadang ditemui meskipun terbilang sangat langka.

Selasa, 16 Desember 2014

BACAN; BATU ‘MACAN’



BATU ‘MACAN’ – Mahal & Cantik

Batu Mulia Bacan yang merupakan varian dari Chrysocolla. Dan kata ‘Chrysocolla’ berasal dari Bahasa Yunani, terdiri dari dua suku kata, yaitu; Chryso (Emas) dan Colla (Lem). Pada zaman Romawi dulu, para tukang emas menggunakan perekat yang terbuat dari mineral chrysocolla disebut santerna, untuk mengelas/menyambung/menempelkan keping-keping emas. Theophratus lah (315 SM), seorang filsuf sekaligus ahli botani Yunani yang pertama kali memperkenalkan istilah Chrysocolla, dan digunakan hingga sekarang.

Batu Mulia yang merupakan varian dari Chrysocolla adalah batu mulia yang berasal dari salah satu pulau di wilayah Halmahera Selatan, Maluku Utara yaitu Pulau Kasiruta. Sejatinya batu ini telah tersohor hingga mancanegara bukan hanya pada saat sekarang-sekarang ini, melainkan sudah sejak abad pertengahan, disaat kepulauan Nusantara masih terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil, menjadi pusat rempah-rempah dunia. Batu ini telah melambungkan nama wilayah asalnya ke mancanegara. Penduduk di kawasan empat kerajaan Maluku (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan) sudah sejak lama memanfaatkan keindahan batu yang berasal dari daerah mereka itu sebagai bahan perhiasan.

Chrysocolla yang murni sangat lembut dan rapuh dengan kadar kekerasan sekitar 2.5 – 3.5 skala Mohs dan tidak cocok untuk permata faceted atau cabochons. Namun Chrysocolla yang menyatu dengan chalcedony memiliki kekerasan yang tinggi yaitu sekitar 7 skala Mohs dan dalam dunia perdagangan batu internasional sering disebut “Gem Silica” atau “Chrysocolla Chalcedony”. Dan batu Bacan berkualitas yang telah mengalami proses silisifikasi bisa mencapai tingkat kekerasan 7 pada skala Mohs seperti Batu Zamrud dan melebihi tingkat kekerasan Batu Giok. Penambangan Batu Bacan tidak mudah, dibutuhkan kedalaman penggalian hingga lebih dari 10 meter, untuk mencari urat-urat galur batu Bacan. Deposit terbesar batu Bacan ada di desa Doko dan Dea Palamea di pulau Kasiruta, selain di desa Imbu Imbu dan Desa Besori.

Nama Bacan sendiri dinisbatkan pada nama sebuah pulau dan sebuah kerajaan di Maluku Utara. Nama pulau penghasil batu bacan sendiri adalah Pulau Kasiruta. Akan tetapi, penisbahan nama Bacan diawali dari tempat pertama kali batu itu diperdagangkan, yaitu Pulau Bacan yang tidak seberapa jauh jaraknya dari Pulau Kasiruta.

Keunikan batu ini adalah kemampuannya memperbaiki diri. Sehingga Batu Bacan dianggap ‘batu hidup’ karena kemampuannya berproses menjadi lebih indah secara alami. Contohnya adalah Batu Bacan yang semula berwarna hitam secara bertahap berubah menjadi hijau. Berprosesnya Bacan tidak sampai disitu. Berikutnya berlanjut dengan proses ‘pembersihan’ sehingga menjadi hijau bening (Kristal) seperti air. Pemilik Batu Bacan biasanya akan terus mengenakan dan melakukan treatment-treatment kecil untuk mempercepat proses perubahan warnanya tersebut.

Seperti dilansir indonesia.travel, keunikan batu bacan tidak hanya pada kemampuannya ‘hidup’ - berubah secara alami. Namun, beberapa jenis batu bacan memiliki kemampuan menyerap senyawa lain dari bahan yang melekatinya. Contoh; sebutir Batu Bacan (Doko) Hijau yang dilekatkan dengan tali pengikat berbahan emas mampu menyerap bahan emas tersebut sehingga bagian dalam batunya muncul bintik-bintik emas.

Kalung bermata batu bacan (teks/foto: indonesia.travel)

Kemampuan berubah warna secara alami dan mencerap bahan melekatinya itulah yang membuat pecinta batu mulia di luar negeri dari China, Arab, dan Eropa tercengang dan kagum terhadapnya. Dengan berbagai keistimewaan dan keunggulan itulah banyak pecinta batu mulia dari luar negeri memburunya sejak tahun 1994. Sementara di Indonesia sendiri batu ini baru popular sejak 2005, dimana sekarang harganya kini sudah sangat mahal dan tidak logis bagi orang awam.

Batu Bacan diketahui telah menjadi perhiasan hampir setiap warga di Maluku Utara sejak masa empat Kesultanan (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan), baik itu oleh pria maupun wanita. Bahkan, batu bacan terbaik menjadi penghias mahkota para Sultan yang masih ada hingga saat ini seperti pada mahkota Kesultanan Ternate. Batu Bacan sering dijadikan hadiah bagi para tamu yang mengunjungi pulau-pulau di Maluku. Saat Presiden Soekarno pada tahun 1960 berkunjung ke Pulau Bacan, beliau dihadiahi oleh warga disana berupa batu bacan. Konon presiden SBY juga menghadiahi cincin batu Bacan kepada Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, saat beliau berkunjung ke Indonesia.

Jika mengunjungi Ternate, Tidore, Jailolo, atau Pulau Bacan, pastikan Anda mendapatkan batu Bacan untuk cenderamata. Memang diperlukan kecermatan dalam memilih Bacan. Atau mintalah saran orang yang memahami batu Bacan terkait keasliannya. Hindari  membeli batu Bacan ‘mati’ atau Bacan ‘sakit’ yang dijadikan Liontin atau mata cincin, karena terkadang batu tersebut tidak akan mengalami proses apa-apa lagi.

Batu Bacan yang beredar di pasar, kita kenal memiliki dua jenis, yakni:


1. Batu Bacan Doko;
   Nama Doko diambil dari nama sebuah desa di Kepulauan Kasiruta, tempat batu ini pertama kali ditemukan. Batu Bacan Doko memiliki warna yang khas yaitu Dark Green (Hijau Tua).

2. Batu Bacan Palamea; 
    Palamea juga diambilkan dari nama desa di pulau yang sama. Bacan Palamea memiliki kekhasan tersendiri, berwarna hijau muda kebiruan.


Warna identik batu Bacan adalah Hijau, namun sebenarnya batu Bacan memiliki ragam warna lain seperti kuning tua, kuning muda, merah, putih bening, putih susu, coklat kemerahan, keunguan, coklat, bahkan juga beragam warna lainnya hingga 9 macam.

Sebagaian orang percaya batu bacan juga memiliki khasiat lain. Menurut mitos yang berkembang, pemakai batu Bacan akan kelihatan lebih menarik dan berwibawa sehingga banyak disukai orang dan hidupnya lebih makmur.


Semoga bermanfaat....






Source: Dari berbagai sumber

Rabu, 10 Desember 2014

ORIGINALITAS BATU






Solar Aceh
Salah satu sisi yang menarik dari BATU PERMATA adalah dari mana batuan tersebut berasal, atau disebut country of origin. Meskipun jelas-jelas hal tersebut diluar penentuan kualitas, namun pasar menganggap bahwa asal negara juga penting untuk diketahui dan mencerminkan kualitas. Disini saya akan menjelaskan aspek-aspek, kriteria dan kondisi penentuan origin yang nantinya akan bisa menjawab seberapa penting origin dan juga kondisi yang terjadi sekarang di pasar batuan di Indonesia. Studi mengenai origin batuan dipelopori oleh Edward J. Gubelin (Pendiri Gubelin Gem Lab). Dengan dedikasi tinggi dia mengumpulkan ribuan sampel batuan langsung dari tambang-tambang di seluruh dunia dan mulai menginvestarisasikan aspek-aspek ilmiah yang membedakannya.

Solar Sukabumi
Meskipun masih sebatas perbedaan karakter mikroskopik dan fitur inklusi, karena peralatan pada zaman itu belum terlalu canggih.  Gubelin mulai mencantumkan origin di sertifikat pada tahun 1950-an. Hal inilah yang kemudian memicu pasar akan pentingnya origin sebagai salah satu yang mempengaruhi nilai pada batu permata. Semenjak itu istilah-istilah seperti Burma, Khasmir dan Ceylon (untuk spesies batu corundum) yang pada jaman itu mendominasi stok batu yang berkualitas di pasar, lantas mengemuka dan mempunyai gengsi tersendiri, dengan dibumbui aspek-aspek sentimental seperti nilai sejarah penggunaan batu-batuan oleh kaum raja dan bangsawan, romantisme budaya dan lokalitas, serta sedikit unsur mistis yang kemudian ikut dibungkus sebagai nilai tambah marketing batu mulia pada saat itu. Selanjutnya hal tersebut terwariskan turun temurun sampai sekarang dan menjadi doktrin bahwa batu mulia yang menyandang nama-nama tersebut adalah yang terbaik. Keniscayaan tersebut lantas susah untuk dihilangkan, meski adanya tambang-tambang baru seperti di Tanzania, atau Madagascar. Memang tidak ada yang patut disalahkan, namun yang penting adalah adanya pemahaman yang benar atau kondisi yang benar-benar terjadi.

Untuk mempermudah pemahaman, tulisan ini akan tetap mewakilkan spesies Corundum, yaitu varietas Ruby dan Sapphire. Pada dasarnya setiap tambang diseluruh Dunia lebih banyak menghasilkan batu dengan kualitas Low to Medium dari pada High Quality. Tidak ada satu tambangpun yang menghasilkan kualitas tinggi dengan proporsi yang lebih banyak. Penemuan Sapphire berkualitas tinggi di Ilakaka, Madagaskar ternyata mampu membelalakan mata pasar dunia bahwa kualitasnya dari segi warna dan kejernihan tidak kalah dengan batuan serupa yang pernah ditemukan sebelumnya di tambang-tambang kuno. Di tambang tersebut juga ikut ditemukan batu-batu Sapphire dengan ukuran di atas rata-rata. Lantas apa doktrin Sapphire Kashmir dan Ceylon bisa tergeser? Pada kenyataannya tidak. Pasar tetap teguh pada pendiriannya bahwa Saphire Kashmir dan Ceylon adalah yang terbaik. Dalam kasus ini, hal yang menyebabkan Madagasian Sapphire bisa kalah adalah karena Madagaskar belum mempunyai nilai sejarah sebagai penghasil Corundum yang terbaik. Burma, Kashmir dan Ceylon sudah mendarah daging dengan segala aspek-aspek sentimental yang terlanjur menempel di batu dan di benak pasar. Kurangnya referensi sampel Ruby dan Sapphire berkualitas tinggi di madagaskar juga ikut andil dalam hal ini.

Bacan Halmahera
Pasar sekarang dijejali dengan Low Quality Glass Field Ruby dan Sapphire Heated Greenish Blue dari madagaskar. Inilah yang membuat nama madagaskar sulit terangkat. Kasus serupa  juga bisa dianalogikan pada kasus handphone china, sampai sekarang handphone china dianggap rapuh, mudah rusak, dan tidak bergengsi, apapun alasannya. Kenyataannya, handphone china sekarang sudah semakin canggih dan mulai bisa diterima oleh segmen masyarakat tertentu. Fitur kecangihannyapun selalu mengikuti hape yang terkini, meskipun kadang-kadang tampilan fisik masih merujuk ke merk yang lebih terkenal. Disini kuncinya adalah pengayaan referensi.

Seandainya pasar batu di Indonesia dibanjiri dengan Sapphire berkualitas dari madagaskar, maka lambat laun doktrin tersebut bisa luntur. Hal tersebut serupa terjadi pada Ruby. Pasar di Indonesia mulai menyadari bahwa Ruby dari Winza-Tanzania tidak boleh dilirik sebelah mata. Alih-alih memburu Ruby Burma yang semakin Langka, mereka mulai beralih ke Tanzania Ruby, meski mungkin dalam hati mereka menganggap bahwa Burmese Ruby sebagai yang terbaik. Monggo saja. Laboratorium gemologi sebagai pihak yang berwenang dalam penentuan origin dituntut untuk independen dalam strict dengan metode dan referensi ilmiah yang ada.

Bacan Sukabumi
Kompleksitas penentuan origin merupakan konsekuensi yang harus diikat, bukan saja terhadap disiplin keilmuan dan almameter, namun juga kepada pasar. Sebenarnya penentuan origin di Lab tidak sederhana. Diperlukan analisis terhadap inklusi, karakter, komposisi kimia, karakter spekstral, sifat-sifat optik (khususnya Refractive Index dan Birefingence), karakter reaksi infra red dan reaksi luminescence. Sebagian besar metode terdebut adalah melihat yang tak kasat mata, sehingga diperlukan instrumen laboratorium yang lumayan canggih seperti gemological microskope, refrakctometer, spektrophotometer, dan lain-lain.

Dalam talkshow di event IGLO di Yogyakarta beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan beberapa pertanyaan menarik tentang origin, diantaranya : Mengapa percantuman origin oleh Sky Lab untuk batu chalcedony (dikenal sebagai Keladen) yang jelas-jelas ditemukan di Pacitan tidak spesifik hingga menyebut "From Pacitan"? Satu pertanyaan lagi; Mengapa SkyLab tidak bisa mengindentifikasi Sapphire yang ditemukan di Aceh sebagai Origin Indonesia? Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah bahwa pendekatan penentuan origin didasarkan atas serangkaian metode ilmiah yang merujuk kepada referensi yang ada. Metode itu didapatkan dari hasil riset on the spot (langsung ke tambang), yang dilakukan oleh para ahli geologi dan gemologi yang kemudian dituangkan kedalam jurnal ilmiah dan diakui secara internasional sebagai metode rederensi untuk mencantumkan country of origin.

Nah, atas dasar itulah gemologist bekerja. Hasil penentuan origin selanjutnya disematkan sebagai Country of Origin, bukan Region of Origin. Itupun masih kontroversional terkait dengan akurasinya. Saya biasanya hanya menuliskan origin Indonesia dalam sertifikat dan pemahaman kepada klien secara lisan bahwa pada umumnya batuan jenis tersebut ditemukan di daerah ini, dan daerah itu, misalnya. Kuantitas hasil sebuah batu dari sebuah tambang juga mempengaruhi ketersediaan Sapphire di pasar. Pernahkah Anda mendengar bahwa Sapphire ditemukan juga di Colombia, Kenya, Laos, Tasmania, Slovakia, dan New Zelland? Meskipun jurnal ilmiah untuk itu sudah ada, namun karena kuantitas hasil tambangnya sangat minim, Sapphire tersebut tidak memberikan kontribusi banyak untuk perdagangan secara internasional.

Sejal Lulus tahun dari GIA tahun 2003, perlu waktu 10 tahun untuk kemudian pada awal tahun 2013 saya memutuskan mencantumkan origin dalam gem report, setelah selama itu pula mengumpulkan dan menganalisi ribuan spesimen, mengikuti berbagai workshop, dan seminar gemologi, melengkapi peralatan dan melakukan simulasi. Selama itu pula saya menolak permintaan pasar untuk menetukan origin, karena bagi saya penentuan origin tidak semudah ketika kita membedakan siang dan malam, dan disisi lain juga harus dapat dipertanggingjawabkan.

Meskipun saat ini tidak ada 1 Lab pun di dunia yang berani menjamin akurasi 100% terhadap analisis origin, namun setidaknya kesimpulan origin tersebut telah didasarkan atas metode yang benar. Akhirnya Origin selayaknya tidak di posisikan sebagai aspek yang mempengaruhi kualitas karena memang tidak ada kaitannya. Selanjutnya siapapun Anda, Hobbyist, Collector, Seller, Atau Supplier, berhak mempunyai keyakinan terhadap kualitas batu secara keseluruhan tanpa menjadikan asal batunya sebagai penentu kualitas dan mulailah mengabarkan kondisi yang sebenarnya demi pasar yang ideal.


Semoga bermanfaat

Sumber : Majalah IGS Edisi Januari 2014
By Nugroho, SE.AJP.GG ( GIA )
Written by: Kerajaan Batu