|
Solar Aceh |
Salah
satu sisi yang menarik dari BATU PERMATA adalah dari mana batuan
tersebut berasal, atau disebut country of origin. Meskipun jelas-jelas hal
tersebut diluar penentuan kualitas, namun pasar menganggap bahwa asal negara
juga penting untuk diketahui dan mencerminkan kualitas. Disini saya akan
menjelaskan aspek-aspek, kriteria dan kondisi penentuan origin yang nantinya
akan bisa menjawab seberapa penting origin dan juga kondisi yang terjadi sekarang
di pasar batuan di Indonesia. Studi mengenai origin batuan dipelopori oleh
Edward J. Gubelin (Pendiri Gubelin Gem Lab). Dengan dedikasi tinggi dia
mengumpulkan ribuan sampel batuan langsung dari tambang-tambang di seluruh
dunia dan mulai menginvestarisasikan aspek-aspek ilmiah yang membedakannya.
|
Solar Sukabumi |
Meskipun
masih sebatas perbedaan karakter mikroskopik dan fitur inklusi, karena
peralatan pada zaman itu belum terlalu canggih. Gubelin mulai
mencantumkan origin di sertifikat pada tahun 1950-an. Hal inilah yang kemudian
memicu pasar akan pentingnya origin sebagai salah satu yang mempengaruhi nilai
pada batu permata. Semenjak itu istilah-istilah seperti Burma, Khasmir dan
Ceylon (untuk spesies batu corundum) yang pada jaman itu mendominasi stok batu
yang berkualitas di pasar, lantas mengemuka dan mempunyai gengsi tersendiri,
dengan dibumbui aspek-aspek sentimental seperti nilai sejarah penggunaan
batu-batuan oleh kaum raja dan bangsawan, romantisme budaya dan lokalitas,
serta sedikit unsur mistis yang kemudian ikut dibungkus sebagai nilai tambah
marketing batu mulia pada saat itu. Selanjutnya hal tersebut terwariskan turun
temurun sampai sekarang dan menjadi doktrin bahwa batu mulia yang menyandang
nama-nama tersebut adalah yang terbaik. Keniscayaan tersebut lantas susah untuk
dihilangkan, meski adanya tambang-tambang baru seperti di Tanzania, atau
Madagascar. Memang tidak ada yang patut disalahkan, namun yang penting adalah
adanya pemahaman yang benar atau kondisi yang benar-benar terjadi.
Untuk
mempermudah pemahaman, tulisan ini akan tetap mewakilkan spesies Corundum,
yaitu varietas Ruby dan Sapphire. Pada dasarnya setiap tambang
diseluruh Dunia lebih banyak menghasilkan batu dengan kualitas Low to Medium
dari pada High Quality. Tidak ada satu tambangpun yang menghasilkan kualitas
tinggi dengan proporsi yang lebih banyak. Penemuan Sapphire berkualitas tinggi
di Ilakaka, Madagaskar ternyata mampu membelalakan mata pasar dunia bahwa
kualitasnya dari segi warna dan kejernihan tidak kalah dengan batuan serupa
yang pernah ditemukan sebelumnya di tambang-tambang kuno. Di tambang tersebut
juga ikut ditemukan batu-batu Sapphire dengan ukuran di atas rata-rata. Lantas
apa doktrin Sapphire Kashmir dan Ceylon bisa tergeser? Pada kenyataannya tidak.
Pasar tetap teguh pada pendiriannya bahwa Saphire Kashmir dan Ceylon adalah
yang terbaik. Dalam kasus ini, hal yang menyebabkan Madagasian Sapphire bisa
kalah adalah karena Madagaskar belum mempunyai nilai sejarah sebagai penghasil
Corundum yang terbaik. Burma, Kashmir dan Ceylon sudah mendarah daging dengan
segala aspek-aspek sentimental yang terlanjur menempel di batu dan di benak
pasar. Kurangnya referensi sampel Ruby dan Sapphire berkualitas tinggi di
madagaskar juga ikut andil dalam hal ini.
|
Bacan Halmahera |
Pasar
sekarang dijejali dengan Low Quality Glass Field Ruby dan Sapphire Heated Greenish
Blue dari madagaskar. Inilah yang membuat nama madagaskar sulit terangkat.
Kasus serupa juga bisa dianalogikan pada kasus handphone china, sampai
sekarang handphone china dianggap rapuh, mudah rusak, dan tidak bergengsi,
apapun alasannya. Kenyataannya, handphone china sekarang sudah semakin canggih
dan mulai bisa diterima oleh segmen masyarakat tertentu. Fitur kecangihannyapun
selalu mengikuti hape yang terkini, meskipun kadang-kadang tampilan fisik masih
merujuk ke merk yang lebih terkenal. Disini kuncinya adalah pengayaan
referensi.
Seandainya
pasar batu di Indonesia dibanjiri dengan Sapphire berkualitas dari madagaskar,
maka lambat laun doktrin tersebut bisa luntur. Hal tersebut serupa terjadi pada
Ruby. Pasar di Indonesia mulai menyadari bahwa Ruby dari Winza-Tanzania tidak
boleh dilirik sebelah mata. Alih-alih memburu Ruby Burma yang semakin Langka,
mereka mulai beralih ke Tanzania Ruby, meski mungkin dalam hati mereka
menganggap bahwa Burmese Ruby sebagai yang terbaik. Monggo saja. Laboratorium
gemologi sebagai pihak yang berwenang dalam penentuan origin dituntut untuk
independen dalam strict dengan metode dan referensi ilmiah yang ada.
|
Bacan Sukabumi |
Kompleksitas
penentuan origin merupakan konsekuensi yang harus diikat, bukan saja terhadap
disiplin keilmuan dan almameter, namun juga kepada pasar. Sebenarnya penentuan
origin di Lab tidak sederhana. Diperlukan analisis terhadap inklusi, karakter,
komposisi kimia, karakter spekstral, sifat-sifat optik (khususnya Refractive
Index dan Birefingence), karakter reaksi infra red dan reaksi luminescence.
Sebagian besar metode terdebut adalah melihat yang tak kasat mata, sehingga
diperlukan instrumen laboratorium yang lumayan canggih seperti gemological
microskope, refrakctometer, spektrophotometer, dan lain-lain.
Dalam
talkshow di event IGLO di Yogyakarta beberapa hari yang lalu,
saya mendapatkan beberapa pertanyaan menarik tentang origin, diantaranya :
Mengapa percantuman origin oleh Sky Lab untuk batu chalcedony (dikenal sebagai
Keladen) yang jelas-jelas ditemukan di Pacitan tidak spesifik hingga menyebut
"From Pacitan"? Satu pertanyaan lagi; Mengapa SkyLab tidak bisa
mengindentifikasi Sapphire yang ditemukan di Aceh sebagai Origin Indonesia?
Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah bahwa pendekatan penentuan
origin didasarkan atas serangkaian metode ilmiah yang merujuk kepada referensi
yang ada. Metode itu didapatkan dari hasil riset on the spot (langsung ke
tambang), yang dilakukan oleh para ahli geologi dan gemologi yang kemudian
dituangkan kedalam jurnal ilmiah dan diakui secara internasional sebagai metode
rederensi untuk mencantumkan country of origin.
Nah,
atas dasar itulah gemologist bekerja. Hasil penentuan origin selanjutnya
disematkan sebagai Country of Origin, bukan Region of Origin. Itupun masih
kontroversional terkait dengan akurasinya. Saya biasanya hanya menuliskan
origin Indonesia dalam sertifikat dan pemahaman kepada klien secara lisan bahwa
pada umumnya batuan jenis tersebut ditemukan di daerah ini, dan daerah itu,
misalnya. Kuantitas hasil sebuah batu dari sebuah tambang juga mempengaruhi
ketersediaan Sapphire di pasar. Pernahkah Anda mendengar bahwa Sapphire
ditemukan juga di Colombia, Kenya, Laos, Tasmania, Slovakia, dan New Zelland?
Meskipun jurnal ilmiah untuk itu sudah ada, namun karena kuantitas hasil
tambangnya sangat minim, Sapphire tersebut tidak memberikan kontribusi banyak
untuk perdagangan secara internasional.
Sejal
Lulus tahun dari GIA tahun 2003, perlu waktu 10 tahun untuk kemudian pada awal
tahun 2013 saya memutuskan mencantumkan origin dalam gem report, setelah selama
itu pula mengumpulkan dan menganalisi ribuan spesimen, mengikuti berbagai
workshop, dan seminar gemologi, melengkapi peralatan dan melakukan simulasi.
Selama itu pula saya menolak permintaan pasar untuk menetukan origin, karena
bagi saya penentuan origin tidak semudah ketika kita membedakan siang dan
malam, dan disisi lain juga harus dapat dipertanggingjawabkan.
Meskipun
saat ini tidak ada 1 Lab pun di dunia yang berani menjamin akurasi 100%
terhadap analisis origin, namun setidaknya kesimpulan origin tersebut telah
didasarkan atas metode yang benar. Akhirnya Origin selayaknya tidak di posisikan
sebagai aspek yang mempengaruhi kualitas karena memang tidak ada kaitannya.
Selanjutnya siapapun Anda, Hobbyist, Collector, Seller, Atau Supplier, berhak
mempunyai keyakinan terhadap kualitas batu secara keseluruhan tanpa menjadikan
asal batunya sebagai penentu kualitas dan mulailah mengabarkan kondisi yang sebenarnya
demi pasar yang ideal.
Semoga bermanfaat
Sumber
: Majalah IGS Edisi Januari 2014
By Nugroho, SE.AJP.GG ( GIA )
Written
by: Kerajaan Batu