Rabu, 10 Desember 2014

ORIGINALITAS BATU






Solar Aceh
Salah satu sisi yang menarik dari BATU PERMATA adalah dari mana batuan tersebut berasal, atau disebut country of origin. Meskipun jelas-jelas hal tersebut diluar penentuan kualitas, namun pasar menganggap bahwa asal negara juga penting untuk diketahui dan mencerminkan kualitas. Disini saya akan menjelaskan aspek-aspek, kriteria dan kondisi penentuan origin yang nantinya akan bisa menjawab seberapa penting origin dan juga kondisi yang terjadi sekarang di pasar batuan di Indonesia. Studi mengenai origin batuan dipelopori oleh Edward J. Gubelin (Pendiri Gubelin Gem Lab). Dengan dedikasi tinggi dia mengumpulkan ribuan sampel batuan langsung dari tambang-tambang di seluruh dunia dan mulai menginvestarisasikan aspek-aspek ilmiah yang membedakannya.

Solar Sukabumi
Meskipun masih sebatas perbedaan karakter mikroskopik dan fitur inklusi, karena peralatan pada zaman itu belum terlalu canggih.  Gubelin mulai mencantumkan origin di sertifikat pada tahun 1950-an. Hal inilah yang kemudian memicu pasar akan pentingnya origin sebagai salah satu yang mempengaruhi nilai pada batu permata. Semenjak itu istilah-istilah seperti Burma, Khasmir dan Ceylon (untuk spesies batu corundum) yang pada jaman itu mendominasi stok batu yang berkualitas di pasar, lantas mengemuka dan mempunyai gengsi tersendiri, dengan dibumbui aspek-aspek sentimental seperti nilai sejarah penggunaan batu-batuan oleh kaum raja dan bangsawan, romantisme budaya dan lokalitas, serta sedikit unsur mistis yang kemudian ikut dibungkus sebagai nilai tambah marketing batu mulia pada saat itu. Selanjutnya hal tersebut terwariskan turun temurun sampai sekarang dan menjadi doktrin bahwa batu mulia yang menyandang nama-nama tersebut adalah yang terbaik. Keniscayaan tersebut lantas susah untuk dihilangkan, meski adanya tambang-tambang baru seperti di Tanzania, atau Madagascar. Memang tidak ada yang patut disalahkan, namun yang penting adalah adanya pemahaman yang benar atau kondisi yang benar-benar terjadi.

Untuk mempermudah pemahaman, tulisan ini akan tetap mewakilkan spesies Corundum, yaitu varietas Ruby dan Sapphire. Pada dasarnya setiap tambang diseluruh Dunia lebih banyak menghasilkan batu dengan kualitas Low to Medium dari pada High Quality. Tidak ada satu tambangpun yang menghasilkan kualitas tinggi dengan proporsi yang lebih banyak. Penemuan Sapphire berkualitas tinggi di Ilakaka, Madagaskar ternyata mampu membelalakan mata pasar dunia bahwa kualitasnya dari segi warna dan kejernihan tidak kalah dengan batuan serupa yang pernah ditemukan sebelumnya di tambang-tambang kuno. Di tambang tersebut juga ikut ditemukan batu-batu Sapphire dengan ukuran di atas rata-rata. Lantas apa doktrin Sapphire Kashmir dan Ceylon bisa tergeser? Pada kenyataannya tidak. Pasar tetap teguh pada pendiriannya bahwa Saphire Kashmir dan Ceylon adalah yang terbaik. Dalam kasus ini, hal yang menyebabkan Madagasian Sapphire bisa kalah adalah karena Madagaskar belum mempunyai nilai sejarah sebagai penghasil Corundum yang terbaik. Burma, Kashmir dan Ceylon sudah mendarah daging dengan segala aspek-aspek sentimental yang terlanjur menempel di batu dan di benak pasar. Kurangnya referensi sampel Ruby dan Sapphire berkualitas tinggi di madagaskar juga ikut andil dalam hal ini.

Bacan Halmahera
Pasar sekarang dijejali dengan Low Quality Glass Field Ruby dan Sapphire Heated Greenish Blue dari madagaskar. Inilah yang membuat nama madagaskar sulit terangkat. Kasus serupa  juga bisa dianalogikan pada kasus handphone china, sampai sekarang handphone china dianggap rapuh, mudah rusak, dan tidak bergengsi, apapun alasannya. Kenyataannya, handphone china sekarang sudah semakin canggih dan mulai bisa diterima oleh segmen masyarakat tertentu. Fitur kecangihannyapun selalu mengikuti hape yang terkini, meskipun kadang-kadang tampilan fisik masih merujuk ke merk yang lebih terkenal. Disini kuncinya adalah pengayaan referensi.

Seandainya pasar batu di Indonesia dibanjiri dengan Sapphire berkualitas dari madagaskar, maka lambat laun doktrin tersebut bisa luntur. Hal tersebut serupa terjadi pada Ruby. Pasar di Indonesia mulai menyadari bahwa Ruby dari Winza-Tanzania tidak boleh dilirik sebelah mata. Alih-alih memburu Ruby Burma yang semakin Langka, mereka mulai beralih ke Tanzania Ruby, meski mungkin dalam hati mereka menganggap bahwa Burmese Ruby sebagai yang terbaik. Monggo saja. Laboratorium gemologi sebagai pihak yang berwenang dalam penentuan origin dituntut untuk independen dalam strict dengan metode dan referensi ilmiah yang ada.

Bacan Sukabumi
Kompleksitas penentuan origin merupakan konsekuensi yang harus diikat, bukan saja terhadap disiplin keilmuan dan almameter, namun juga kepada pasar. Sebenarnya penentuan origin di Lab tidak sederhana. Diperlukan analisis terhadap inklusi, karakter, komposisi kimia, karakter spekstral, sifat-sifat optik (khususnya Refractive Index dan Birefingence), karakter reaksi infra red dan reaksi luminescence. Sebagian besar metode terdebut adalah melihat yang tak kasat mata, sehingga diperlukan instrumen laboratorium yang lumayan canggih seperti gemological microskope, refrakctometer, spektrophotometer, dan lain-lain.

Dalam talkshow di event IGLO di Yogyakarta beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan beberapa pertanyaan menarik tentang origin, diantaranya : Mengapa percantuman origin oleh Sky Lab untuk batu chalcedony (dikenal sebagai Keladen) yang jelas-jelas ditemukan di Pacitan tidak spesifik hingga menyebut "From Pacitan"? Satu pertanyaan lagi; Mengapa SkyLab tidak bisa mengindentifikasi Sapphire yang ditemukan di Aceh sebagai Origin Indonesia? Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah bahwa pendekatan penentuan origin didasarkan atas serangkaian metode ilmiah yang merujuk kepada referensi yang ada. Metode itu didapatkan dari hasil riset on the spot (langsung ke tambang), yang dilakukan oleh para ahli geologi dan gemologi yang kemudian dituangkan kedalam jurnal ilmiah dan diakui secara internasional sebagai metode rederensi untuk mencantumkan country of origin.

Nah, atas dasar itulah gemologist bekerja. Hasil penentuan origin selanjutnya disematkan sebagai Country of Origin, bukan Region of Origin. Itupun masih kontroversional terkait dengan akurasinya. Saya biasanya hanya menuliskan origin Indonesia dalam sertifikat dan pemahaman kepada klien secara lisan bahwa pada umumnya batuan jenis tersebut ditemukan di daerah ini, dan daerah itu, misalnya. Kuantitas hasil sebuah batu dari sebuah tambang juga mempengaruhi ketersediaan Sapphire di pasar. Pernahkah Anda mendengar bahwa Sapphire ditemukan juga di Colombia, Kenya, Laos, Tasmania, Slovakia, dan New Zelland? Meskipun jurnal ilmiah untuk itu sudah ada, namun karena kuantitas hasil tambangnya sangat minim, Sapphire tersebut tidak memberikan kontribusi banyak untuk perdagangan secara internasional.

Sejal Lulus tahun dari GIA tahun 2003, perlu waktu 10 tahun untuk kemudian pada awal tahun 2013 saya memutuskan mencantumkan origin dalam gem report, setelah selama itu pula mengumpulkan dan menganalisi ribuan spesimen, mengikuti berbagai workshop, dan seminar gemologi, melengkapi peralatan dan melakukan simulasi. Selama itu pula saya menolak permintaan pasar untuk menetukan origin, karena bagi saya penentuan origin tidak semudah ketika kita membedakan siang dan malam, dan disisi lain juga harus dapat dipertanggingjawabkan.

Meskipun saat ini tidak ada 1 Lab pun di dunia yang berani menjamin akurasi 100% terhadap analisis origin, namun setidaknya kesimpulan origin tersebut telah didasarkan atas metode yang benar. Akhirnya Origin selayaknya tidak di posisikan sebagai aspek yang mempengaruhi kualitas karena memang tidak ada kaitannya. Selanjutnya siapapun Anda, Hobbyist, Collector, Seller, Atau Supplier, berhak mempunyai keyakinan terhadap kualitas batu secara keseluruhan tanpa menjadikan asal batunya sebagai penentu kualitas dan mulailah mengabarkan kondisi yang sebenarnya demi pasar yang ideal.


Semoga bermanfaat

Sumber : Majalah IGS Edisi Januari 2014
By Nugroho, SE.AJP.GG ( GIA )
Written by: Kerajaan Batu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar